"Merdeka Belajar" 2025: Sudah Sejauh Mana Transformasi Pendidikan Indonesia Benar-Benar Terwujud?

(H1) “Merdeka Belajar” 2025: Sudah Sejauh Mana Transformasi Pendidikan Indonesia Benar-Benar Terwujud?

Awalnya semangatnya membara. Kata “Merdeka” itu kan menggugah. Bebas dari belenggu. Tapi sekarang, di 2025, pertanyaannya berubah: Merdeka yang mana? Merdeka untuk siapa?

Kita sudah disuguhkan pelatihan, modul, platform. Tapi di lapangan, di ruang guru yang sumpek dan kelas yang sesak, ceritanya seringkali beda.

Merdeka Belajar ini sebenarnya bukan ujian buat siswa. Ini ujian besar buat kita semua. Buat kemerdekaan berpikir kepala sekolah, kemerdekaan berkreasi guru, dan kemerdekaan belajar siswa. Dan ujiannya ternyata jauh lebih kompleks daripada yang kita kira.

Antara Cita-Cita dan Kertas Ujian: Jarak yang Terus Merentang

Survei kecil-kecilan yang dilakukan komunitas guru secara independen (dan rasanya sangat valid) menunjukkan: 65% guru merasa lebih “dikejar setoran administrasi platform” daripada punya waktu untuk benar-benar berinovasi di kelas.

Itu masalah utamanya. Merdeka Belajar di atas kertas itu indah. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), teaching at the right level, assessment yang holistik. Tapi di tanah air, ia harus berhadapan dengan budaya birokrasi yang gemar dengan laporan, dengan orang tua yang tetap tanya “ranking berapa?”, dan dengan sistem yang kadang memaknai “merdeka” sebagai “terserah”.

Jadi, transformasinya nggak linear. Nggak hitam putih. Dia abu-abu. Dan di abu-abu inilah kita berkutat.

Cerita dari Lapangan: Mereka yang Berjuang di Garis Depan

  1. Bu Siska (Guru SD di Kota Kecil): Terjepit antara Projek dan Laporan.
    “Saya semangat banget bikin projek kolaborasi seni dan IPA. Siswa bikin wayang dari daun kering, ceritanya tentang ekosistem. Seru! Tapi lalu datang surat dari dinas. Minta laporan pelaksanaan P5 dengan 15 indikator yang harus dicentang, plus dokumentasi dalam format tertentu. Waktu yang harusnya untuk mendampingi siswa, habis untuk ngerjain laporan itu.” Di sini, kemerdekaan dibajak oleh administrasi.
  2. Pak Rudi (Guru SMA di Ibu Kota): Kurikulum Operasional yang “Terserah Sekolah”.
    “Kata mereka, sekolah boleh bikin Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) sendiri. Merdeka, kan? Tapi waktu kami bikin, yang terjadi adalah kebingungan. Nggak ada contoh yang baku, pelatihan cuma sekadar teori. Akhirnya, ya kami comot-comot dari sini sana, modifikasi seadanya. Apakah ini namanya merdeka, atau sekadar dibebani tugas tambahan tanpa panduan yang jelas?” Transformasi pendidikan yang diharapkan menteri, mentok di tataran manajerial.
  3. Mbak Dinda (Guru Honorer di Daerah 3T): Fasilitas vs Filosofi.
    “Kami diajari untuk memfasilitasi, bukan mendikte. Tapi di kelas, satu-satunya LCD di sekolah rusak. Buku ajar terbatas. Sementara siswa sudah biasa belajar dengan TikTok yang visualnya mentereng. Gimana caranya bikin pembelajaran yang ‘merdeka’ dan menarik, kalau alat paling dasar saja nggak ada?” Ini adalah bukti bahwa kemerdekaan butuh infrastruktur yang memadai.

Jebakan-Jebakan yang Bikin “Merdeka” Cuma Jadi Slogan

Kita sering terjebak tanpa sadar.

  • Mistik Modul Ajaib. Seolah-olah dengan mengunduh semua modul di Platform Merdeka Mengajar, transformasi akan terjadi dengan sendirinya. Padahal, modul itu cuma alat. Jiwa dan konteksnya harus datang dari guru. Tanpa itu, modul cuma jadi kurikulum lama yang berdandan baru.
  • P5 sebagai Mata Pelajaran Baru. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila malah dijadikan mapel tambahan yang kaku, dengan silabus dan ulangan. Esensinya sebagai pembelajaran kontekstual yang menyatu justru hilang. Ini namanya ganti baju, tapi jiwa tetap sama.
  • Takut pada Kekacauan. “Kalau siswa dibebaskan, kelas jadi ribut, gimana?” Ketakutan ini wajar. Tapi Merdeka Belajar bukan berarti tanpa struktur. Itu tentang menciptakan struktur yang fleksibel, bukan menghilangkan struktur sama sekali.

Langkah Nyata untuk Merebut Kemerdekaan yang Sesungguhnya

Mau bener-bener ngejalanin? Bukan cuma numpang lewat?

  1. Mulai dari “Kekacauan Kecil”. Jangan langsung mau revolusioner. Pilih satu topik dalam satu minggu, dan coba satu strategi berbeda. Misal, belajar lewat debat, atau menilai lewat portofolio ketimbang soal pilihan ganda. Rayakan kekacauan kecil itu sebagai tanda bahwa loe sedang mencoba.
  2. Bentuk “Komunitas Praktisi” di Sekolah. Cari 2-3 guru yang sepaham. Bikin kelompok diskusi kecil. Bagikan keberhasilan dan kegagalan. Hadapi tekanan birokrasi bersama-sama. Kita nggak harus menunggu perintah dari atas untuk berubah.
  3. Jual “Proses” ke Orang Tua. Undang orang tua, jelaskan bahwa nilai proyek yang belum sempurna itu justru lebih bermakna daripada nilai 100 di kertas ujian yang dihafal. Libatkan mereka dalam pameran hasil proyek siswa. Ubah pola pikir mereka, perlahan-lahan.

Jadi, Gimana Nasib “Merdeka Belajar” Kita?

Transformasi pendidikan itu seperti menanam pohon. Kita sibuk membicarakan daun dan buahnya (kurikulum, strategi), tapi sering lupa memperhatikan akar (budaya sekolah, mindset, dan dukungan sistemik) dan tanahnya (infrastruktur dan kesejahteraan guru).

Merdeka Belajar di 2025 bukan gagal. Tapi dia sedang melalui fase yang paling sulit: fase di mana antusiasme awal telah meredup, dan yang tersisa adalah kerja keras yang sunyi untuk menerjemahkan ide besar menjadi aksi kecil yang konsisten.

Kemerdekaan yang sesungguhnya bukanlah tidak adanya tantangan. Tapi adalah keberanian untuk terus bertanya, mencoba, dan kadang gagal, di tengah segala keterbatasan. Itulah yang sedang kita perjuangkan.